• HOME

Lika-liku Perkembangan PT Nyonya Meneer


nyonya_meneerJamu tidak diragukan lagi merupakan sebuah produk kultural dan ekonomi dari masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Ramuan yang alami dan bebas bahan-bahan kimia artifisial membuat jamu selalu menarik  konsumen, ditambah lagi dengan gencarnya semangat back to nature oleh masyarakat modern. Dahulu mungkin sulit rasanya membayangkan jamu diminum oleh orang dalam bentuk sachet yang higienis atau diperdagangkan di toko-toko eksklusif. Namun, sekarang jamu sudah terangkat menjadi bagian dari gaya hidup modern nana membanggakan.

Inilah perusahaan dengan tagline terkenal “Berdiri Sejak Tahun 1919” yang membuat kita selalu ingat dengan produk jamunya yang khas. Menurut Imam Nuryanto dalam “88 Tahun PT Nyonya Meneer: Terus Berinovasi menuju Pasar Global” di Suara Merdeka.com, PT Nyonya Meneer  telah dianggap sebagai sebuah ikon industri nasional jamu dan kosmetik tradisional terbesar dan tertua di tanah air . Perusahaan ini juga telah melebarkan sayap ke pasar internasional dengan berusaha memenuhi permintaan ekspor ke Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, Amerika Serikat, Belanda dan Arab Saudi. Produk andalan PT Nyonya Meneer juga bervariasi, dari produk minuman jamu seperti temulawak, awet ayu, habis bersalin, hingga produk untuk penggunaan luar seperti param dan buste cream.

Di balik keperkasaan dan kecemerlangan prestasi perusahaan yang mencapai usaha 91 tahun ini, terdapat beberapa kisah perseteruan internal yang khas terjadi dalam perusahaan keluarga (family business) seperti beberapa perusahaan keluarga lainnya yang dapat kita analisis dan jadikan pelajaran dalam menjalankan usaha .

Sang Pendiri: Lauw Ping Nio alias Nyonya Meneer
Jika mengamati etiket jamu Nyonya Meneer dengan seksama, kita tentu tidak akan melewatkan sebuah potret kecil hitam putih yang menjadi simbol perusahaan tersebut selama hampir satu abad. Potret itu adalah potret Nyonya Meneer yang bernama asli Lauw Ping Nio. Ia terlahir  di Sidoarjo, Jawa Timur di tahun 1895 sebagai  seorang anak ketiga dari lima bersaudara. Nama ”Meneer” sendiri diperolehnya bukan karena dia adalah istri seorang meneer Belanda, tetapi karena ibunya menyukai mengunyah beras menir (butir halus padi sisa penumbukan). Kata “menir” akhirnya ditulis menjadi “meneer” karena terpengaruh oleh bahasa Belanda.

Nyonya Meneer yang kemudian menikah dengan pria Surabaya mengikuti suami berpindah ke Semarang. Di awal abad ke 20, saat-saat sulit mendera banyak rakyat Indonesia dengan semakin kejamnya penindasan Belanda. suami Nyonya Meneer tidak terkecuali menjadi korbannya. Ia jatuh sakit dan sulit sembuh. Saat genting itu justru menjadi saat pertama Meneer membuktikan bakat dan kepiawaiannya meracik jamu. Alhasil sang suami berhasil sembuh dan hal ini membuatnya semakin bersemangat  untuk mengasah dan memraktikkan ilmu dan pengetahuan meracik jamu yang ia dapat dari orang tuanya. Seiring berjalannya waktu, Meneer semakin percaya diri dengan meramu jamu bagi kerabat dan orang-orang terdekat yang sakit. Perlahan tetapi pasti, jamu jualannya itu merambah kota-kota lain di sekitar Semarang. Ia juga membungkus jamu itu dalam kemasan yang menunjukkan potret dirinya, yang ditujukan awalnya untuk sarana silaturahmi namun terbukti ampuh dan legendaris hingga kini sebagai simbol perusahaan.

1919: Tonggak Perkembangan PT Nyonya Meneer
Demi menyaksikan kemampuan mengagumkan Nyonya Meneer dalam menolong orang dengan racikan jamunya yang berkhasiat tersebut, suami dan keluarganya lalu mendukung pendirian sebuah usaha yang dinamai “Jamu Cap Potret Nyonya Meneer”. Sembari menjalankan usaha yang berupa pabrik jamu itu, Nyonya Meneer juga membuka usaha lain yaitu toko yang terletak di Jalan Pedamaran 92, Semarang.

Jamu Nyonya Meneer tercatat mulai merambah pasar Jakarta saat putrinya yang bernama Nonnie di tahun 1940 memutuskan untuk bertempat tinggal di ibukota. Nonnie kala itu berinisiatif untuk membuka sebuah cabang baru pabrik jamu ibunya. Toko itu berdiri di  daerah Pasar Baru, tepatnya Jalan Juanda, yang merupakan salah satu sentra kegiatan perekonomian ibu kota.


Masa Perkembangan: Kolaborasi Nyonya Meneer dengan Generasi Kedua
Di tahun 1967, Nyonya Meneer masih bertindak sebagai Direktur Utama meskipun secara formal perusahaan dipercayakan kepada anaknya, Hans Ramana. Anak gadisnya yang bernama Lucy Saerang, Marie Kalalo, dan Hans Pangemanan diangkat menjadi anggota dewan komisi perusahaan. Sementara itu, model manajemen masih mengikuti model yang diajarkan sang pendiri, yang berorientasi pada keuntungan besar. Perusahaan juga masih mempekerjakan sistem pengelolaan yang sederhana, belum modern.

Diversifikasi produk mulai dilakukan demi memperkaya varian yang ada. Maka, diciptakan beberapa jenis jamu lain. Jajaran produk juga senantiasa dikembangkan dengan menghasilkan produk-produk minyak pijat, pengharum badan, scrub untuk mandi, dan bedak wajah. Semua produk baru itu dipasarkan ke daerah-daerah lain yang lebih terpelosok di tanah air.

Di era 1970-an, industri tersebut mulai mengalami tingkat persaingan yang ketat. Banyak pesaing yang bermunculan di pasar yang menjadi sasaran Nyonya Meneer. Pertarungan sengit antarprodusen jamu dari  segi harga, peluncuran jenis produk yang serupa, hingga pertarungan untuk memperebutkan ceruk pasar terlihat sangat kentara pada masa ini. Beberapa pesaing agresif bagi Jamu Cap Potret Nyonya Meneer ialah PT. Sido Muncul dan PT. Air Mancur.

Hans Ramana ,yang merupakan sebuah pribadi yang hangat dan mudah akrab dengan orang lain, menjalankan kepemimpinan dengan baik. Didukung oleh segenap keluarga dan karyawan, serta ibunya sendiri, ia berhasil menciptakan sebuah lingkungan kerja yang kondusif bagi semua orang yang menyandarkan kehidupannya di perusahaan tersebut.

Kerjasama yang begitu erat dan harmonis antara ibu dan anak – Nyonya Meneer dan Hans Ramana- berimbas positif pada kinerja perusahaan yang dibina. Selama dikelola oleh duet pimpinan ibu dan anak ini, pabrik “Jamu Cap Potret Nyonya Meneer” menampakkan kemajuan yang signifikan.

Bibit masalah mulai bersemi saat Nyonya Meneer menderita serangan stroke hingga kehilangan kemampuannya berbicara di pertengahan dekade 1970-an. Ditambah lagi kenyataan pahit bahwa Hans Ramana, sang anak, yang divonis menderita kanker (sumber lain menyatakan TBC) dan meninggal dunia di Honolulu tahun 1976 setelah bertahan memimpin perusahaan sejak 1952. Keadaan semakin memburuk dengan berpulangnya Nyonya Meneer di tanggal 23 April 1978, meninggalkan sebuah bom yang bersiap meledak sewaktu-waktu karena Nyonya Meneer tidak memberikan petunjuk atau wasiat mengenai siapa yang harus memimpin kelak karena ia tidak tahu menahu bahwa Hans Ramana sudah meninggal lebih dahulu (semua anggota keluarga sepakat menyembunyikan kematian Hans demi kesehatan sang ibu).


Masa Kelabu: 24 Tahun Sarat Konflik Internal Keluarga
Sepeninggal sang pendiri, perusahaan rupanya harus bersiap untuk menghadapi deraan konflik hampir sepanjang dua setengah dekade. Awalnya posisi direktur utama dipegang oleh Nonnie Saerang, didampingi oleh Hans Pangemanan. Sementara itu, posisi komisaris diisi oleh Marie Kalalo, Lucy Saerang, dan Charles Saerang.

Konflik mengalami peningkatan ekskalasi di tahun 1984 hingga 2000. Kelima ahli waris berebut kekuasaan di perusahaan. Pertikaian melibatkan beberapa pihak: kelompok mayoritas (Nonnie Saerang dan Hans Pangemanan), kelompok minoritas (Lucy Saerang dan Marie Kalalo) dan generasi ketiga yang diwakili oleh Charles Saerang (anak kandung mendiang Hans Ramana). Dilakukan sebuah perubahan konstelasi kepemimpinan, dengan mengangkat Hans Pangemanan dan Charles Saerang sebagai direktur. Namun, situasi tetap tidak membaik. Kemudian dilaksanakan pengubahan susunan dewan direksi yang menghasilkan keputusan sebagai berikut: Hans Pangemanan (kelompok mayoritas) dan Fritzcimons Kalalo (kelompok minoritas) menjabat sebagai direktur pertama dan kedua.

Dan pertikaian ini terbawa menuju ranah hukum setelah terjadi insiden kekerasan fisik antara dua orang pendukung dua pihak: Pandu Oktavianus (pendukung Hans Pangemanan) dan Alex Haryanto (pendukung Fritzcimons) di tanggal 15 Januari 1985. Konflik ini membuat perusahaan sempat terhenti kegiatan operasionalnya untuk dua minggu meski karyawan masih diberikan gaji pokok dan upah. Keadaan ini membuat situasi keuangan perusahaan menjadi semakin memburuk daripada sebelumnya.

Untuk membuktikan betapa luasnya skala konflik ini bagi perekonomian nasional, kita dapat lihat dengan keterlibatan pemerintah dalam meredam konflik internal ini. Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara yang bertugas saat itu bahkan sempat turut campur untuk memberikan solusi pada sengketa yang berkepanjangan itu. Hal ini dipandang perlu karena Nyonya Meneer saat itu telah menjadi sebuah perusahaan besar dengan jumlah buruh dan karyawan hingga 3.500 orang. Tentu akan menjadi sebuah risiko besar karena mempertaruhkan kelanjutan nasib ribuan orang dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

Konflik ini terselesaikan dengan baik setelah kelompok mayoritas membeli saham yang dipegang oleh kelompok minoritas di tanggal 20 Maret 1986. Kondisi perusahaan semakin membaik dengan berakhirnya ko­nflik itu. Selama hampir satu tahun, PT. Nyonya Meneer tidak menelurkan sebuah produk jamu baru satu pun sehingga posisinya menjadi semakin sulit terutama setelah bermunculannya pesaing-pesaing baru yang aktif mengeluarkan produk baru ke pasar.

Selama periode 1987-1989, dilakukan perbaikan saluran distribusi, pengemasan, dan hubungan dengan karyawan. Juga dilaksanakan penelitian untuk menghasilkan lebih banyak inovasi lagi untuk dilempar ke pasar. Hasilnya adalah citra perusahaan dan produk yang semakin meningkat di mata konsumen. Banyak hambatan dan tantangan yang harus dilalui untuk menyelesaikan semua perbaikan citra dan kualitas tetapi semua berhasil dilakukan dengan baik oleh PT. Nyonya Meneer.

Belum cukup di situ, prahara berikut menyusul. Antara Desember 1989-1994 terjadi perseteruan rumit antara keluarga Hans Pengemanan di satu sisi dengan keluarga Nonie Saerang bergabung dengan Charles Saerang (cucu nyonya Meneer dari anak Hans Ramana) di sisi yang berbeda.

Ternyata perdamaian hanya berlangsung setahun. Pada tahun 1995, Nonie Saerang dan Charles Saerang kembali berseteru, bahkan hingga dibawa ke meja hijau. Lima tahun kemudian (2000), kedua pihak akhirnya sepakat untuk berdamai. Pertarungan itu berakhir manis di tanggal 27 Oktober 2000, yang ditandai dengan penyerahan secara resmi saham Nonie Saerang kepada Charles Saerang.

Dari tahun 1976 hingga 2000, tercatat telah terjadi sepuluh konflik serius yang melibatkan anggota-anggota keluarga keturunan Nyonya Meneer. Semuanya berujung dari pengelolaan perusahaan yang mengesampingkan aspek profesionalisme dan kemudian melebar menjadi perselisihan keluarga. Pengelolaan berdasarkan sistem yang sudah usang dan orientasi manajemen perusahaan hanyalah mengejar untung dalam jumlah besar. Ditambah lagi dengan kerakusan terhadap harta dan kekuasaan, kombinasi semua masalah itu menjelma menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup perusahaan.

Charles Saerang: Generasi Ketiga yang Menjadi Tumpuan
Pepatah yang lazim beredar dalam perkembangan usaha keluarga berpandangan bahwa generasi ketiga adalah generasi perusak. Namun, kenyataan berbicara lain dalam hal perjalanan perusahaan Nyonya Meneer. Dalam kasus Nyonya Meneer, justru generasi kedua memicu timbulnya konflik dan memperparahnya dengan keinginan mempertahankan kekuasaan dan harta. Sementara itu, generasi ketiga malah cenderung berkeinginan untuk mengelola perusahaan dengan lebih profesional dan modern, yang terbukti membuat perusahaan bertahan di ketatnya persaingan industri jamu masa kini.

Charles masih berusia 24 tahun dan menyelesaikan pendidikan di Business School Miami University, Oxford, Ohio, AS saat Hans Ramana – mendiang ayahnya- berpesan untuk bergabung mengelola perusahaan keluarga di tahun 1976. Sebagai seorang yang masih berusia muda, Charles saat itu dikirim ke berbagai daerah di Indonesia sebagai tenaga pemasaran Nyonya Meneer. Ia berusaha menghadapi konflik dengan sabar karena yang ia hadapi ialah sesama kerabat, bukan orang lain.

Charles tidak menyerah meski harus menghadapi perlawanan sengit dengan saudaranya sendiri. Charles akhirnya memutuskan untuk menghentikan persengketaan dengan membeli semua saham yang dimiliki anggota keluarga lainnya sehingga ia lebih leluasa mengelola  perusahaan. Sekarang PT. Nyonya Meneer dijalankan oleh kumpulan profesional yang berpengalaman, yang meski bukan keluarga justru makin memperkokoh langkah menghadapi persaingan di abad ke 21.

Menguak Rahasia Bertahan di Tengah Konflik
Banyak orang merasa penasaran bagaimana sebuah perusahaan keluarga yang begitu pelik masalahnya bisa bertahan dan tetap berkembang bahkan hingga usianya yang mencapai hampir satu abad. Charles Saerang memiliki jawabannya. Dirut PT. Nyonya Meneer itu dengan serius menjelaskan bahwa seberapa parah konflik internal yang terjadi dalam tubuh manajemen perusahaan , perhatian terhadap produk masih tercurah. Masih tertanam kesadaran bersama bahwa produk memiliki peran penting dalam keberlangsungan perusahaan. Maka dari itu, produksi, distribusi, dan penjualan jamu PT. Nyonya Meneer tetap terjaga meskipun konflik yang berkepanjangan melanda perusahaan.

PT. Nyonya Meneer Menapaki Abad Millenium
Dengan terselesaikannya pertikaian antara Nonnie Saerang dan Charles Saerang di tahun  2000, dimulailah era baru perkembangan PT. Nyonya Meneer. Kinerja perusahaan tercatat semakin membaik terbukti dengan ekspansi besar-besaran yang dilakukan PT. Nyonya Meneer ke beberapa negara Asia yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Dubai, dan Taiwan. Selain itu, ragam produk jamu yang ditawarkan ke konsumen pun lebih banyak dan bervariasi.

Meski menghadapi era modern yang menuntut produk instan, Charles Saerang masih berusaha mempertahankan kualitas dan khasiat jamu produknya. Sebagai generasi ketiga, ia selalu mengingat pesan yang disampaikan oleh nenek dan ayah kandungnya agar selalu menjaga dan meningkatkan mutu dan khasiat jamu buatan PT. Nyonya Meneer. Demi menjaga wasiat pendahulu ini, Charles berkomitmen penuh terhadap pemilihan bahan baku jamu. Ia mengaku sangat selektif memilih bahan baku untuk produk jamunya. Ia bahkan membuka sebuah usaha pembibitan sendiri yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabriknya dan juga agar mutu bahan baku bisa secara ketat dan langsung terpantau.

Charles Saerang juga mengutarakan ambisinya untuk dapat memasukkan jamu tradisional sebagai bagian dari resep pengobatan modern. Dan untuk itu, ia gencar menuntut pengawasan dan perlindungan mutu jamu kepada pemerintah karena banyak jamu yang beredar di pasaran yang menurutnya ‘tercemar’ bahan kimia buatan yang tidak seharusnya ditambahkan. Bahan kimia tersebut selain merusak kesehatan juga memperburuk  citra jamu di mata konsumen. Pernyataan Charles justru menuai kontroversi di antara sesama perajin jamu, terutama yang berskala kecil menengah di beberapa daerah seperti Banyumas dan Cilacap. Charles dianggap mematikan sumber penghasilan perajin jamu kecil menengah karena secara tidak langsung memberikan pesan bahwa jamu tradisional produksi usaha rumahan berbahaya karena mengandung zat kimia berbahaya padahal perajin jamu menilai tidak semua perajin jamu berbuat ‘nakal’ seperti itu. Ambisi Charles Saerang lainnya ialah mampu menata perusahaan keluarga menjadi lebih profesional dan kompetitif dengan tetap menjaga kualitas dan khasiat agar lebih baik dari sebelumnya. Dan untuk itulah Charles Saerang terus berjuang menuntut perhatian pemerintah terhadap industri jamu nasional. Charles sendiri beralasan bahwa itu dilakukan untuk mempertahankan citra jamu asli Indonesia, bukan semata-mata untuk menguntungkan PT. Nyonya Meneer apalagi memojokkan kelompok masyarakat tertentu. (AP)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Lika-liku Perkembangan PT Nyonya Meneer . Jika kamu suka, jangan lupa like dan bagikan keteman-temanmu ya... By : Aneka Artikel Indonesia Terbaru
Ditulis oleh: Admin - Minggu, 16 Desember 2012

Belum ada komentar untuk "Lika-liku Perkembangan PT Nyonya Meneer "

Posting Komentar